Edukasi Emosi untuk Generasi Alfa melalui Buku Cerita Ilustrasi

Novena Ulita, S.Pd., M.Sn. – Akademisi Desain Komunikasi Visual

Fenomena meningkatnya ketidakstabilan emosi pada anak usia dini, khususnya Generasi Alfa, menjadi perhatian penting dalam ranah pendidikan anak. Generasi yang tumbuh dalam era teknologi digital ini sering kali lebih terampil menggunakan perangkat pintar dibandingkan mengenali dan mengelola perasaan mereka sendiri. Hal ini menciptakan celah dalam kemampuan regulasi emosi, yang bila tidak ditangani sejak dini, berpotensi mempengaruhi perkembangan sosial dan psikologis anak di masa depan.

Masalah ini mendorong pentingnya edukasi emosi melalui pendekatan yang sesuai dengan cara belajar anak usia dini: visual, naratif, dan kontekstual. Edukasi tidak bisa hanya bersifat verbal dan instruktif, tetapi harus menyentuh dunia pengalaman anak sehari-hari. Di sinilah kekuatan desain komunikasi visual berperan.

Pameran “Marahku dalam Kendaliku” karya Bima Syaiful Anwar, mahasiswa Tugas Akhir Program Studi Desain Komunikasi Visual Universitas Mercu Buana Jakarta, menjadi contoh karya desain yang tidak hanya artistik, tetapi juga edukatif dan solutif. Buku cerita ilustrasi yang dirancang untuk anak usia 4–5 tahun ini hadir sebagai media visual yang membantu anak mengenali emosi marah dan belajar mengelolanya dengan cara yang sehat.

Pameran ini diselenggarakan pada tanggal 2 dan 3 Juli 2025 bertempat di PAUD Teratai 08, Jl. Simprug Golf II, RT 08 RW 08, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Kegiatan ini sekaligus menjadi bentuk kolaborasi antara mahasiswa, dosen dengan lembaga pendidikan anak usia dini sebagai mitra riset dan implementasi pembelajaran langsung di lapangan.

Salah satu kekuatan utama karya Bima adalah kemampuannya memvisualisasikan emosi melalui simbol yang dekat dan mudah dipahami anak-anak. Misalnya, simbol api dalam diri digunakan untuk menggambarkan sensasi marah yang membara—simbol ini menjadi jembatan visual yang efektif untuk menggambarkan emosi abstrak secara konkret. Melalui pendekatan ini, anak-anak diajak memahami bahwa marah adalah hal wajar, namun bila tidak dikendalikan, “api” tersebut bisa membakar dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Latar belakang visual dalam buku juga dirancang secara sederhana namun kontekstual, menggambarkan situasi sehari-hari di rumah—tempat di mana anak-anak sering mengalami ledakan emosi. Salah satu adegan yang paling relevan adalah ketika anak mengalami kemarahan karena penggunaan handphone, sebuah kebiasaan yang sangat lekat dengan karakteristik Generasi Alfa saat ini. Ini menjadikan karya Bima tidak hanya relevan secara visual, tetapi juga secara kebiasaan dan pengalaman anak-anak.

Pameran yang berlangsung turut juga memperlihatkan praktik desain yang mampu berdampak bagi lembaga pendidikan anak usia dini. Tidak hanya menampilkan karya, kegiatan ini melibatkan sesi membaca buku bersama, diskusi singkat dengan pendidik, dan pembagian merchandise edukatif bagi peserta didik. Sebuah contoh nyata dari desain yang berakar pada riset, empati, dan kebermanfaatan (berdampak) sosial.

Sebagai dosen dan peneliti di bidang desain komunikasi visual, saya mengapresiasi tinggi inisiatif ini. Karya “Marahku dalam Kendaliku” tidak hanya memperkaya khazanah literasi anak-anak, tetapi juga memperlihatkan bagaimana desainer muda dapat memberikan kontribusi nyata dalam membentuk generasi yang lebih cerdas secara emosional.

Selamat kepada Bima Syaiful Anwar, yang telah menunjukkan bahwa desain bukan sekadar estetika, melainkan jembatan pembelajaran yang kreatif, komunikatif, dan penuh makna. Semoga hal ini menjadi langkah awal dalam terus tumbuh mengambil bagian dalam meningkatkan literasi anak-anak di Indonesia.


Novena Ulita
Dosen dan Peneliti Desain Komunikasi Visual, Universitas Mercu Buana Jakarta

Array
Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *