Kolom Pakar
Febryan Wishnu, S.Ds., M.IKom – Creative Economy Enthusiast
Di tengah akselerasi transformasi digital yang terjadi secara global, ekonomi kreatif hadir sebagai fondasi baru pembangunan ekonomi nasional yang berbasis inovasi dan ide. Indonesia sendiri telah menunjukkan tren pertumbuhan yang menggembirakan dalam sektor ini, bahkan menjadi penyumbang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, agar sektor ini tidak hanya menjadi tren sesaat, melainkan pilar berkelanjutan, maka perlu dilakukan pendekatan strategis yang berpijak pada teori dan praktik.
Salah satu kerangka penting yang bisa digunakan dalam memahami dinamika ekonomi kreatif adalah Triple Helix Model (Etzkowitz & Leydesdorff, 2000) yang menekankan pentingnya kolaborasi antara tiga aktor utama: akademisi, industri, dan pemerintah. Dalam konteks ekonomi kreatif, sinergi antara ketiganya menjadi prasyarat terbentuknya ekosistem yang inovatif dan berdaya saing global.
Sementara itu, dalam ranah komunikasi dan pemasaran, transformasi digital telah memunculkan apa yang dikenal sebagai era Marketing 4.0 dan 5.0 (Kotler, Kartajaya & Setiawan). Pada Marketing 4.0, perusahaan beralih dari pendekatan tradisional menuju customer-centric dengan pemanfaatan teknologi digital, terutama media sosial. Dalam Marketing 5.0, pendekatannya semakin dalam: teknologi seperti AI, big data, dan machine learning digunakan untuk humanizing technology, di mana pemasaran tidak hanya efisien tapi juga relevan dan bernilai secara emosional dan sosial.
Transformasi ini juga tidak terlepas dari teori komunikasi digital interaktif yang menekankan partisipasi dua arah antara pelaku bisnis dan audiens. Bukan lagi komunikasi satu arah seperti pada model Lasswell, melainkan komunikasi kolaboratif dan berbasis komunitas (Jenkins, 2006). Di sinilah ekonomi kreatif dan komunikasi digital bertemu: keduanya menempatkan manusia sebagai subjek aktif, bukan sekadar objek pasar.
Namun, digitalisasi bukan tanpa tantangan. Masih banyak pelaku ekonomi kreatif yang gagap teknologi atau tidak memiliki akses terhadap pelatihan digital yang memadai. Ini menegaskan pentingnya literasi digital bukan hanya kemampuan teknis, tetapi juga pemahaman etika, keamanan, dan strategi komunikasi di ruang digital.
Dalam konteks pengembangan SDM, pendekatan 21st Century Skills Framework juga perlu diintegrasikan dalam pendidikan kewirausahaan kreatif, yakni: berpikir kritis, kolaborasi, komunikasi, dan kreativitas atau yang dikenal dengan 4C.
Maka, dalam membangun masa depan ekonomi kreatif Indonesia yang kuat, inklusif, dan berdampak sosial, kita harus meletakkan dasar-dasar pada:
- Kebijakan yang berpihak pada inovasi
- Pendidikan dan pelatihan berbasis teknologi
- Kolaborasi lintas sektor
- Platform digital yang mudah diakses dan berdaya guna
Dengan memperkuat kapasitas pelaku ekonomi kreatif, terutama generasi muda, kita akan menciptakan ekosistem yang tak hanya produktif, tapi juga relevan dengan tantangan zaman. Kreativitas yang dipadukan dengan teknologi dan nilai kemanusiaan akan menjadi kekuatan transformasional yang membentuk wajah baru perekonomian Indonesia.